Adalah Aku satu perbendaharaan yang tersembunyi,
Maka inginlah Aku supaya di ketahui siapa Aku.
Maka Aku jadikanlah makhluq Ku,
Maka dengan Allah mereka mengenal Aku
Maka inginlah Aku supaya di ketahui siapa Aku.
Maka Aku jadikanlah makhluq Ku,
Maka dengan Allah mereka mengenal Aku
,الحــمدلله ألصــلاة والســلام على رسـول الله
و على آله وصـحبـه اجـمعيـن
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانِ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ, اَمَّا ب
Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam semesta, berfirman,
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Dan memberinya rezki dari arah yang tidak di sangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya, Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang di kehendaki Nya. Sesungguhnya Allah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Ath Thalaaq Ayat : 3)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Al Imran Ayat : 190)
Kehidupan kebanyakan orang yang merasakan saat ini tidak seperti apa yang mereka bayangkan, rasa kekecewaan itu hadir silih berganti sehingga mereka berusaha semaksimal mungkin mencari solusi untuk mengamalkan suatu amalan, agar supaya semua masalah dapat terselesaikan, tapi toh masih begitu juga tidak ada perubahan sedikit pun bahkan menemukan kesemuan tiada akhir (maksud disini hanya beberapa orang saja), MasyaAllah. Ikhwan wal Akhwat sekalian yang dirahmati Allah, tentunya timbul pertanyaan ada apa dengan ini semua ! apakah Firman Allah, yang salah . . . tentu tidak, atau apakah orang tersebut yang kurang ilmu tentu tidak pula, bahkan ia seorang ilmuaan, hartawan, dermawan, sholat sunnah tidak tinggal apalagi yang wajib, syaumnya terkerjakan penuh, zakat setiap tahun di keluarkan dan menginfaqkan (shodaqoh) pada kaum dhu’afah, hajji berulang kali, namun faktanya . . . semua ini, bahkan dibiarkan oleh Allah, atas jalan yang belok, tidak faham lagi mana hak orang, itulah hak ia, lihatlah betapa hewan patuh dan tunduk atas perintah-perintah Allah SWT,
walaupun harimau itu hampir mati kelaparan di tengah-tengah padang rumput yang subur namun ia bertahan tidak makan rumput karena ia tahu rumput itu milik kerbau, sang kerbaupun demikian walaupun ia tergeletak kelaparan di sampingnya daging (bangkai rusa) sedikitpun ia tidak ada hasrat untuk memakan daging (bangkai) rusa tersebut karena ia tahu itu milik harimau, mereka patuh dan taat atas perintah Allah, tapi bagaimana dengan manusia yang Allah bekali mereka dengan akal fikiran, hak orang lain dipaksakan menjadi hak dia, sangking rakusnya aspal pun di jadikan kopi tubruk, pasir di makan bagaikan bubur, batu bata di jadikan roti bantal, timah panas dijadikan es campur, semen dijadikan dodol semuanya di telan. Bahkan manusia ingin memisahkan agama Islam dari kehidupan masyarakat yang dianggap tidak lagi relevan lagi, mari kita lihat, untuk mendekatkan pemahaman sebuah cerita kehidupan seekor harimau.
Harimau adalah seekor binatang buas yang ganas di dalam sebuah hutan belantara, apa yang ia inginkan, akan tercapai, di lihatnya katak besar melompat-lompat, ia mengejar katak tersebut lalu tertangkap dan sebagai makanan yang empuk lagi lezat, dilihatnya ada yang merayap-rayap pelan-pelan dan di tangkapnya lalu dimakan ternyata ular yang besar lagi panjang, dan suatu saat si harimau ini melihat keatas melayang, hinggap disuatu cabang, secara pelan-pelan harimau itu menangkapnya dan memakannya ternyata burung elang yang berbadan besar, harimau senang berada di hutan ini, dan ia menyadari inilah habitat kehidupan yang sesungguhnya. Suatu ketika harimau ini di tangkap secara paksa dan di pindahkan kesebuah kota besar, apa yang terjadi, pertama kakinya melangkahkan ia amat senang dan bahagia dianggap ini kehidupan yang sempurna dari habitat sebelumnya tapi apa yang terjadi, begitu ia merasakan lapar dan melihat benda besar seperti katak berjalan di depannya ia kejar dan lalu menangkapnya, begitu digigitnya ternyata keras sekali, tenyata angkutan kota (angkot), perut terus melilit tak pandang bulu, dilihatnya benda besar seperti ular merayap dan melintas didepannya, ia kejar lalu menangkapnya dan merasakan gigitan yang sangat kerasnya kepalang tanggung, ternyata yang di gigitnya roda kereta api, rasa lapar dan dahaga terus menghantuinya di lihat ada yang melayang dan terbang melintas diatas kepalanya sebuah benda besar terbang di sangka burung elang, ia kejar dan ketika mendarat seketika itu pula ia tangkap dan berusaha menggitnya berulang-ulang kali ternyata pesawat terbang, keras, sama seperti yang tadi, ia kecewa dan pada akhirnya harimau itu lemas dan terkulai mati. nampaknya ini sebuah cerita sepele, akan tetapi mengandung ma’na tersendiri. Seekor harimau yang bernasib malang yang dipisahkan dari habitatnya adalah iktibar, bagaimana mungkin manusia di pisahkan dari Agama Islam itu artinya memisahkan ruh dari jasadnya, padahal Agama Islam dengan manusia adalah “Fitrah atas kejadian manusia itu sendiri” kita tidak ingin hidup seperti cerita diatas.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِن أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(QS. Ar Ruum Ayat : 30)
Demikianlah hawa dan nafsu (ego), yang selalu membawa kesengsaraan, ego adalah Pantang kerendahan (tinggi diri), pantang kekurangan (kaya diri), mau menang sendiri (gampang tersinggung), senang melihat orang susah, susah melihat orang senang dan mudah di adu domba. Ini sifat-sifat (cirri-ciri ego di dalam diri). Hawa adalah (suara-suara batin yang berkata-kata macam-macam, misal Ikhwan wal Akhwat membaca postingan ini, lantas batin anda terus bicara tak henti-hentinya, sampai kapan pun ini tidak akan terhenti, sementara nafsu adalah suatu sifat yang tercela yakni (nafsu Al Amarah dan nafsu al lauwamah)
إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”
(QS. Al Ma’arij Ayat : 19)
Karena ilmu Syari'at itu batasnya hanya sampai yang nyata-nyata saja, maka ilmu tersebut tidak dapat mengurusi tentang keadaan yang ada di dalam diri yakni qolbu (hati), seperti, "Tawaqal, Ikhlas, Ridho, Ihsan" dan yang demikian itu ilmunya ada tersendiri. Ikhwan wal Akhwat sekalian yang di rahmati Allah, pada garis besarnya, Syari’at mengurusi, yakni apa yang ada diluar diri kita, missal, pakaian kita terkena najis maka cukup dengan air bersih lagi suci sebagai alat mensucikannya, lantas jika hati ini penuh dengan penyakit, "iri, dengki, sombong, ego (keakuan), kikir dll" pakai apa alat pembersihnya! Apakah harus pakai air juga?
Dalam hal ini penulis mengajak agar lebih konsentrasi lagi ke "Tingkatan Iman Ilmul Yakin", lihat artikel yang bertemakan ("Ketika Melihat Asap, Seketika Itu Pula Terbakar Api"), di situ di jelaskan bahwa Ketika si Amir sedang di rumah, tiba-tiba datang seorang temannya membawa kabar berita bahwa di balik bukit nan jauh di sana terdapat asap yang mengepul-ngepul, setelah ini di terima, si Amir meyakinkan dirinya menjumpai warga setempat, untuk menanyakan kepada mereka, apakah memang benar di balik bukit nan jauh di sana terdapat asap yang mengepul-ngepul ternyata benar kedaannya, apa yang di kabarkan oleh temannya tadi. Perihal ini di sebut “Tingkatan Iman Ilmul Yaqin”, si Amir dalam tingkat ini ketika ia beramal dan beribadah kepada Allah, hanya sampai batas menjalankan Perintah dan Meninggalkan Larangan" dengan Ilmu Pengetahuan dari “Al Qur’an dan Al Hadits”. Tingkatan "Iman Ilmul Yakin ini, masuk kedalam ilmu syari'at, tempat tilik atau makam "Syari'at" di posisi "Jirim (tubuh luar) dan Jisim (tubuh dalam yang memakai tubuh luar)" dan pelaksanaan amal ibadah Sholat, Syaum, Zakat dan Hajji, termasuk syari’at Allah SWT kepada amalan zikir lisannya adalah “ Laa Ilaaha Illaallaah”. Di dalam kalimah inilah yang nantinya menjadi pegangan yang kuat, bagi seseorang Ustadz/Guru, Dosen, Masyarakat maupun Elemen-Elemen negeri ini, merupakan cerminan dari pada murid- muridnya, bagaimana keilmuannya, pengetahuannya, serta "Akhlaqul Qorimah"nya yang akan ditiru, oleh karena itu jika seorang staf pendidik bertanggung jawab, disiplin tinggi, professional, tentu akan memberikan nilai tersendiri bagi para murid atau santri tersebut. Disisi lain tidak semua orang bisa jadi staf pendidik, apalagi staf pendidik yang mengajarkan ilmu tentang "Akhlaqul Qorimah". Karena pada hakekatnya jiwa seorang murid-murid tersebut terpaut sangat dekat dengan seorang staf pendidik, terlebih seorang staf pendidik favoritnya.
Dalam pembentukan "Akhlaqul Qorimah" tidak bisa hanya dibebankan kepada staf pendidik saja, yang sangat terbatas bersama para murid-muridnya. Peran orang tua, masyarakat dan Pemerintah juga sangat dibutuhkan di dalam mengawasi gerak gerik ke seharian setiap anak. Bagaimanapun juga tidak akan ada murid jika tidak ada staf pendidik dan tidak ada anak "Berakhlaqul Qorimah" jika masih ada orang tua yang tidak mengajarkan kebenaran, kepercayaan, menyampaikan yang haq, kecerdesan, sedini mungkin, karena genarasi yang dibina dengan "Akhlaqul Qorimah" mencerminkan bangsa yang bermartabat sehingga bangsa-bangsa lain segan dengan negara yang kuat dengan "Berakhlaq Mulia".
إِلهِي لََسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلا, وَلاَ أَقوى عَلَى النّارِ الجَحِيم
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim.Yaa .. Allah, hilangkanlah rasa ujub dalam diri kami sehingga kami tidak pernah terlepas dari tali Aqidah yang sangat kokoh, Aamiin . . yaa Robbal 'Aalamiin,
Billahi taufiq wal hidayah.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Kata-Kata Arifbillah,
lamanya untuk mengumpulkan harta karena
dia takutkan miskin, maka dialah sebenarnya
orang yang miskin”. (Imam Al Ghazali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar