Kamis, 27 Juli 2017

Makna Yang Tersirat Di Balik Amal dan Ibadah “Thawwaf”


                                                                                                         Bagian 16                                         
                                     



Barang siapa kenal dirinya maka kenal ia Tuhannya,
Barang siapa kenal Tuhannya maka sesungguhnya, tiadalah dirinya.

,السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ , بــِـسْمِ اللهِ الرَّحْــمٰنِ الرَّحِــيْمِ 
,الحــمدلله ألصــلاة والســلام على رسـول الله
و على آله وصـحبـه اجـمعيـن 
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانِ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ , اَمَّا ب

Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam semesta, berfirman,


إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Aku hadapkan wajahku kepada wajah Dia, yang menciptakan langit di bumi dengan penuh kepasrahan mengikuti agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (QS. Al  An ‘am Ayat : 79)

Alhamdulillah, segala puji  dan puja bagi Allah, Dialah cahaya langit dan bumi, Dia memberikan cahaya Nya di waktu malam gelap gulita, Dia memberikan penerangan dengan cahaya Nya yang bagi siapa-siapa saja yang menghampiri Nya dan Dia membukakan hijab dari yang menutupi cahaya sehingga berdampakkan Nurin ala Nurin, bagi siapa-siapa yang dikehendaki Nya. sehingga sampai kepada saat ini, umur kita masih berkhah di dalam Imani wal Islami,sehingga dengan kekuatan dorongan Imani wal Islami tersebut kita mempunyai kemampuan menyisihkan waktu untuk membaca dan memahami postingan yang penulis unggah dalam rangka meneruskan kewajiban yaitu menambah Ilmu pengetahuan agama.

Sembari kita iringkan sholawat beserta salam kepangkuan rohaniah junjungan kita pimpinan agung Nabi besar Muhammad SAW, yang di utus oleh Allah ta’ala spesialis zulumati Ilaa nur, untuk memandu umat manusia supaya keluar dari lembah hina, hidup zulmah (gelap) tanpa aturan illa nur menujuh arah cahaya yang terang benderang, di seluruh aspek kehidupan zhohir dan batin, baik itu untuk kepentingan duniawi wal akhirati, di sana di atur oleh Allah spesialis menurut kebutuhan manusia itu sendiri, kiranya mari kita sama berharap agar senantiasa Allah ridho atas kerja baik yang kita lakukan, sehingga syafa’at Rasulullah, tersebut melimpah dan menghunjam  kelubuk jiwa kita bersama. Yang mulia tuan-tuan guru Syekh, Kyai, dan Alim Ulama’ rahiimahkumullah, mohon, izin dan restunya untuk membahas tentang Rukun Islam, kelima yakni,”Hajji dan Umroh” (dalam pengkajian nantinya kita hanya membahas tentang, Makna Yang Tersirat Di Balik Amal dan Ibadah “Thawwaf”, hubungan rukun Islam pertama “Syahadah” sangat berpotensi kuat sekali dalam hal ini, melihat kondisi kepada khususnya  umat Islam dan jika terdapat ke keliruan dalam penyampaian, mohon di luruskan. Alhamdulillah, pada kesempatan ini kita dapat bertemu kembali dalam keadaan sehat wal afi’at dan mudah-mudahan Allah SWT, selalu meridhoi amal dan ibadah kita Aamiin . . yaa Robbal ‘Aalamiin.

Dengan rasa syukur yang mendalam penulis berterima kasih kepada Ikhwan wal Akhwat, yang telah berkenan membaca, memperhatikan dan memahami dari awal unggahan artikel hingga saat ini, dan harapan penulis untuk menanggapi artikel yang diungga kiranya kita menggunakan ilmu dalil (bukti) dari Al Qur‘an, ilmu madlul (yang di buktikan) dari Al Qur’an dan Ayat Muktamat ( ayat yang terang artinya tidak memerlukan penafsiran) dan ayat muktasabihat (ayat yang perlu penjelasan) dari Al  Qur’an Alhamdulillah, InsyaAllah, dari awal hingga saat ini kita megupas terus masalah pokok-pokok agama besar ini (agama Islam) yakni, "Rukun Islam, Rukun Iman dan Rukun Ikhsan" yang saling keterkaitan satu dengan yang lainnya, khususnya kepada Rukun Islam Pertama “Syahadah”sebagai pondasi kekuatan yang sangat dahsyat yang tidak boleh terlepas dari amalan-amalan lainnya, itu yang di sebut “Tauhid” ataupun “Aqidah” tetap pertahankan walaupun kita harus menggigit sekuat-sekuatnya dengan gigitan gigi graham sekalipun apa yang akan terjadi, sekalipun itu nyawa taruhannya, demi mentauhidkan Allah, hingga ke alam akhirat yang kekal dan abadi. Ikwan wal Akwat sekalian yang di berkhahi Allah, Tuhannya manusia dan Tuhannya alam semesta ini, baik Alam Makro maupun Alam Mikro, prinsif yang selalu harus benar-benar kita pengangi adalah Firman Allah SWT, berikut

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولً

Jangan kamu turutkan amal yang kamu tidak mengerti ilmunya, Sesungguhnya nanti, telinga kamu, mata kamu, hati kamu semua masing-masing akan di tanyai pertanggung jawabannya, kamu perturutkan amal padahal kamu tidak mengerti apa yang kamu amalkan. (QS. Al Isra’ Ayat : 36).

Sungguh ayat ini bukanlah peringatan sekedar peringatan, bagi orang-orang yang benar-benar mengimani Allah dengan "Iman Ilmul Yaqin", akan tetapi jika di teliti, di fahami benar-benar ayat tersebut, tujuannya adalah untuk memotifasi kita agar kiranya mengamalkan sesuatu harus berdasarkan Ilmu Pengetahuan, mafa’atnya untuk meningkatan Iman dari yang baik, lebih baik , dari “Iman Ilmul Yaqin” akan meningkat ketingkatan “Iman Haqqul Yaqin” dan akan meningkat menuju yang terbaik lagi yakni dengan tingkatan “Iman Kamalull Yaqin”, ini isyarat (sinyal) dalam ayat yang di sampaikan Allah, itu artinya dengan kasih dan sayang Nya, Allah memberikan suatu bimbingan agar supaya makluq (manusia) Nya tidak terjerumus dan tersesat jauh dari jalan yang lurus. Ikhwan wal Akhwat yang di berkhahi Allah, pekan lalu kita singgung bagaimana persiapan untuk melaksanakan amal dan ibadah Hajji dan Umroh, yang harus kita kita persiapkan Zhohir maupun Batin, baik Syari’at maupun Hakekat berserta Ilmu-Ilmunya agar kembalinya dari tanah suci “Mekkah Al Muqaromah” menjadi “Hajji Mabrur” harapan umat dan bangsa ini. Tentunya untuk mengamalkan sesuatu amalan haruslah dengan di sertakan “Niat Qosad Lillah” (niat di sengajakan dengan karena Allah semata-mata), bukan dengan “Niat Qosad Nafsu (Al Amarah dan Al Lauwamah) dan "Niat Qosad Tafsir” (niat di sengajakan dengan menafsirkan ayat dalam beribadah) karena niat ini seluruhnya batil di sisi Allah, tiada manfa’atnya sedikitpun bahkan akan menjadi kegelisaan baik di dunia apalagi di akhirat.

Sebelum kita lebih lanjut membahas tentang “Makna Yang Tersirat Di Balik Amal Ibadah Thawwaf”, penulis akan mengikuti perbuatan amal dan ibadahnya seorang Abdi Allah menuju tanah suci “Mekkah Al Muqaromah”, tapi mari kita telusuri lebih dahulu sepak terjang balik kebelakang background Abdi tersebut sebelum ia memperoleh predikat “Abdi Allah”. Seorang pemudah yang berlumuran dosa yang selalu membelakangi kebenaran dan kesalahan yang paling fatal di rasakannya yakni, sifat keakuan dirinya yang selalu ada di manapun ia berada sehinggah dia lah yang paling segala-galanya, semua dianggap kecil dia lah yang besar dan dia lah yang kuat sampai menemukan titik kejenuhan, seiring waktu berjalan, di balik ia merasakan segalanya, batinnya gelisa dan merana akibat merasakan keakuannya, batinnya menangis dan menjerit lalu ia merenungi dirinya dan terbesatlah dalam fikirannya kalimah “Laa ilaa Ha illallah, Muhammadurasululah” kalimah ini selalu terngiang-ngiang di telinganya dengan sangat jelas. Ia pun penasaran dengan “Kalimah” ini, ia mendatangi seorang Ulama’ (Syekh/Kyai) dan berguru kepadanya.

Dengan izin Allah, Ulama’ (Syekh/Kyai) tersebut menyarankan untuk mengamalkan “Amalan Tarekat” dengan modal ilmu yang di bekali dari Ulama’ (Syekh/Kyai) tersebut, atas anjuran dan nasehatnya dengan “Niat Lillah” ia mengamalkan dan di “Bai’at”, sebelum mengamalkan perjalanan ke “Alam Jisim” (Tarekat) di sebutlah ia seorang “Salik” (seorang yang menempuh perjalanan batin), untuk lebih lanjut silakan kunjungi di kronologi penulis yang bertemakan tentang Jalan yang sungguh melelahhkan, penuh onak dan duri jurang di kanan kiri, tebaran kerikil tajam lagi mendaki, hanya demi ridho Ilaahi” . Demikian perjuangan seorang “Salik” yang bertubi-tubi, silih berganti ujian yang di hadapi, akan tetapi ia selalu menghadapinya dengan kepasrahan total, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan (agama Islam), yakni dengan ilmu “Tawaqal” nya, karena ia memahami benar baik dan buruk adalah datang" (berasal) dari "Zat yang bersifat Jalal" (Sifat Kebesaran Allah SWT). Dalam mengarungi samudera yang teramat dalam akhirnya dengan izin Allah, ia memperoleh "Keridhoan Nya". Inilah modal utama untuk mengamalkan perintah-perintah Nya yakni, "Amalan Sholat, Syaum (puasa), Zakat dan Hajji danUmroh. Sehingga ia mentasydidkan peristiwa perjalanan “Isra’a wal Mi’raj” Nabi Besar Muhammad SAW, sewaktu menjemput perintah “Sholat” di ‘arsy. Ketika ia telah merasakan nikmatnya menegakkan perintah “Sholat” (di sebut As Sholatul Mir’rajul Mukminin/Abdi Allah) untuk mengabdikan dirinya kepada "Allah SWT", Tuhan seru sekalian alam, yang di percontohkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menjadi abdi Ku.
(QS. Adz Dzariyaat Ayat : 56)

Dalam menjelaskan "Amalan dan Ibadah Hajji dan Umroh" ini, sengaja penulis tidak mengambil percontohan dari golongan "Manusia" karena manusia masih dalam posisi manusia di pastikan sebagai makhluq (insan), yang “Rugi” siapapun orang itu, apakah pejabat yang paling tertinggi dan rakyat menengah ke bawah di negeri ini, jika tidak segera menggeserkan kedudukkannya  manusia (insan) ke pada posisi "Abdi Allah", tetap “Rugi” karena di dalam diri manusia banyak bermuatan nilai "Negatif" di antaranya “Hawa dan Nafsu (Al Amarah dan Al Lauwamah) dan "Sifat Munafiq" yang bersarang dalam lubuk "Qalb" (hati) nya. "Sifat Musyriq" yang menguasai "Aqal" nya. "Sifat Kufur" ni’mat yang merajai "Ruh" nya dan "Sifat Fasiq" yang mengambil alih "Jirim dan Jisim" nya”, "Sifat-Sifat" ini sebagai "Madlul" (yang di buktikan) Allah, dalam Firman Nya, sebagi "Dalil" (bukti) dari Al Qur ‘an sebagai berikut.

وَالْعَصْرِ , إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ,إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan rugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan nasehat menesehati dalam kebenaran dan nasehat menasehati dalam kesabaran. (QS. Al ‘Ashr Ayat : 1 – 3)

Demikian kedudukkan dalam posisi "Manusia" (insan), jauh di bandingkan dengan "Abdi Allah", yang jiwanya steril dari sifat negative sehingga mampu melebihi derajad kedudukkan "Malaikat" hingga sanggup melewati “Sidrotul Muntaha” bahkan sampai ke ‘Arsy. Tentunya "Abdi Allah", yang telah menjalankan amalan ibadah “Hajji dan Umroh”, dalam posisi atau keadaan "Menafikan" (meniadakan) diri nya di dalam "Isbat" (tetap) nya, Allah, "Zat Wajabal Wujud yang bersifat tiada seumpama dengan sesuatu apapun". 


Dan dalam pelaksanaan "Amal Ibadah Hajji dan Umroh" ini, tetap dalam posisi dan keadaan “Syari’at dan Hakekat” karena “Syari’at tanpa Hakekat fasiq sementara Hakekat tanpa Syari’at zindiq, perlu sekali di fahami benar-benar. Sebelum memulai amal dan ibadah "Thawwab" ini, di wajibkan “Niat Lillah” dan memakai “Pakaian Ikhram” yang tidak berjahit, itu maksudnya tanggalkan pakaian “Keakuan diri” guna untuk berjumpa dengan "Robb". Dunia yang luas ini di sebut adalah “Alam Makro” dan pusatnya (tiik poros) nya, letaknya di posisi tegaknya bangunan yang bernama “Ka’bah” yang bermuatan "Nurullah" dan Allah menyebutnya dengan “ Ka’bah Baitullah” (Ka’bah rumah Allah)Dan di dalam diri "Abdi"  di sebut adalah “Alam Mikro” dan titik pusatnya tersebut di dalam jantung jasmani dua jari di bawah susu kiri yakni "Qalb" (hati) rohani, yang berdetak, Allah . . Allah . . Allah . . yang bermuatan "Nur" (Cahaya Allah) di sebut “Qalbun Mukminun Baitullah” (hati Abdi itu adalah rumah Allah), dan di dalam baik “Alam Makro” dan “Alam Mikro” dalam keberadaan “Alam Malakut”, terdapat tujuh makam yakni “Latifatul Qalby, Latifatu Ruh, Latifatus Srri, Latifatu Khafi, Latafatul Akhfa, Latfatunnafsun Natiqa dan Latifah kullu jasad”.

Dalam keadaan ini, posisi "Abdi", nafi (tiada) di dalam isbat(tetap) nya Allah, dengan "Sifat Qudrat dan Iradat" Nya, ia bergerak dengan mengelilingi "Ka’bah", dan melewati beberapa makam kebesaran Allah, yakni “Latifatul Qalby, Latifatu Ruh, Latifatus Srri, Latifatu Khafi, Latafatul Akhfa, Latfatunnafsun Natiqa dan Latifah kullu jasad”. posisi "Ka’bah" di sebela kiri "Qalbi" (hati) rohani yang berada di dalam jantung jasmani. "Sifat Hayyat" yang menghidupkan ruh, memancar-mancar keseluruh bagian "Jirim" (tubuh luar) yakni, "Abdi" bergerak dengan "Ruh", sehingga ia mampu merasakan “Sifat Qodirun” (Yang Maha Berkuasa), "Abdi" berkeinginan dengan "Ruh", sehingga ia mampu merasakan “Sifat Muridun” (Yang Maha Berkehendak), "Abdi" mendengarkan dengan "Ruh", sehingga ia mampu  merasakan “Sifat Sami’un” (Yang Maha Mendengarkan), "Abdi" melihat dengan "Ruh", sehingga ia mampu merasakan ”Sifat Basirun” (Yang Maha Melihat), "Abdi" berkata dengan "Ruh", sehingga ia mampu merasakan “Sifat Mutakalimun” (Yang Maha Berkata-kata), "Abdi" mengetahui dengan "Ruh". sehingga ia mampu merasakan ”Sifat ‘Aalimun” (Yang Maha Mengetahui). Dan Zat yang bersifat “Hayyun” (Yang Maha Hidup) memancarkan kepada ruh dengan sifat Hayyat ( hidup) sehingga ruh hidup dengan yang di hidupkan. Inilah yang di sebut dengan sifat "Adrok" (syarat di perdapat segala sifat). Dan ruh yang menerima sifat hayyat tersebut merasa hidup dan mati dengan Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam, dan di manapun Abdi itu berada ia merasakan “Innallah Maa Ana” (Sesunggunya Allah beserta abdi)), dan dengan "Zikrullah Daaimun" (Zikrullah yang tiada berkesudahan,berterusan tiada putus),

Dengan terus berthawwaf, "Nurullah" (cahaya Allah) dalam "Qalb" (hati) Abdi, yang di sebut juga “Alam Mikro”, terpancar  berdampakkan dengan pancaran "Nurullah", yang ada di “Baitullah” (Ka’bah) di sebut juga titik pusat bumi ini yakni, “Alam Makro”, Nurin Ala Nurin (Cahaya atas Cahaya) dengan mengikuti ”Syari’at Allah” terus bertawwaf sampai tujuh kali putaran dengan melewati makam-makam kebesaran Allah, yakni,”Latifatul Qalby, Latifatu Ruh, Latifatus Sirri, Latifatu Khafi, Latafatul Akhfa, Latfatunnafsun Natiqa dan Latifah kullu jasad”, sehingga terpancar "Nur" (cahaya) dengan pandangan mata batin Abdi, melalui mata zhohir, "Memandang jauh tiada berantara, dekat tiada besentuhan di antara keduanya" sehingga terpandanglah,“Syuhudi Katsroh Fil Wahdah, Syuhudil Wahdah Fil Katsroh”, (pandanglah yang banyak di dalam yang Esa, dan pandanglah yang Esa di dalam yang banyak), berpandang-pandangan, bukan memandang bangunan "Ka’bah" berbentuk persegi tetapi mentasydidkan dengan "Qalb" (hati) nya, dengan Kalimah, 

“Laa Maujudun Illaa Allah” (tiada yang ada kecuali Allah), tanpa di sadari Abdi, air mata berlinang membasahi pakaian Ikramnya, dengan terus menerus "Qauli" nya melapaskan Kalimah “Labbaika, Allahumma labbaik, Labbaika laa syariika laka labbaik, Innal hamda wanni’mata laka wal mulk, La syariika laka,” (

air mata terus berlinangan mengalir bukan karena sedih akan tetapi bahagia yang tiada dapat di ungkapkan dengan kata-kata bagaikan sepasang suami istri yang bertahun-tahun tidak pernah berjumpa rindu bercampur bahagia, di sinilah "Hakekat diri Abdi".

Dan akhiran putaran terakhir dengan melewati makam kebesaran Allah,”Latifatul Qalby, Latifatu Ruh, Latifatus Srri, Latifatu Khafi, Latafatul Akhfa, Latifatunnafsun Natiqa dan Latifah kullu jasad”, dengan teratur secara berlahan-lahan Abdi meninggalkan putaran "Thawwaf". Dan dengan "Amal dan Ibadah Thawwaf", Abdi beserta dengan berjuta-juta Abdi-Abdi yang lain selam 24 jam sampai akhir zaman , ini memberikan dampak pengaruh posif yang sangat dahsyat, dengan mengelilingi "Ka’bah" seketika itupula "Nurullah" (Cahaya Allah) yang di dalam "Ka’bah" dengan "Nurullah" ( Cahaya Allah) yang di dalam di "Qalb" (hati) Abdi-Abdi Allah, saling berdampakkan sehingga terbentuk kumparan-kumparan "Nur" (cahaya) yang dapat menseimbangkan bumi ini dari kehancuran, karena "Ka’bah" adalah "Poros" (sumbuh) bumi ini, yang kita bertempat tinggal di atasnya, perbanyaklah bersyukur kepada Allah SWT, yang memiliki Sifat “Arrahman dan Arrahim” Nya, dengan mewujudkan "Iman" kedalam "Amal" sehingga bermanfa’at bagi diri nya sendiri, keluarga (anak dan istri), dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehinga bermanfaat bagi alam semesta ini.    

Demikianlah wejangan ini yang bertemakan, Makna Yang Tersirat Di Balik Amal dan Ibadah “Thaawwaf”, Mohon ampun kepada Allah, mohon ma’af, bila terdapat kesalahan dan sedikitpun tidak ada maksud tertentu, hanya semata-mata menyampaikan haq Allah, agar kita di hadapan Al Haq, tidak saling tuding menuding satu diantara kita, atas ma’af  yang di berikan, penulis ucapkan tarima kasih, semoga bermanfa’at, hanya kepunyaan Allah lah segala puji-pujian teragung. InsyaAllah, kita bahas berikut pekan depan tentang Rukun Islam kelima yakni “Makna Yang Tersirat Di Dalam Amal Dan Ibadah Sya’I” di karenakan saling terkait, kiranya  penulis berharap agar unggahan-unggahan postingan sebelumnya dan sekarang di fahami benar-benar, supaya sebagai bahan acuan untuk melengkapi unggahan-unggahan artikel akan datang sehingga tidak kehilangan arah dan tujuan.

إِلهِي لََسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلا, وَلاَ أَقوى عَلَى النّارِ الجَحِيم

Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim. Yaa .. Allah, hilangkanlah rasa ujub dalam diri kami sehingga kami tidak pernah terlepas dari tali Aqidah yang sangat kokoh,  Aamiin . . yaa Robbal 'Aalamiin, 
Billahi taufiq wal hidayah.                     
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar